Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/04/2013, 09:23 WIB

KOMPAS.com - "Cepat pulang yah, Dri. Nanti kalau kelamaan cuti, kita kalau Gila gak ada yang obatin". Itulah kata bernada canda yang sering diungkapkan teman sejawat saya sesama dokter ketika saya mengatakan ingin cuti beberapa hari dari pekerjaan di rumah sakit. Stigma Gila begitu melekat pada diri seorang psikiater walaupun yang mengatakannya adalah sejawat dokter sendiri yang mempunyai pendidikan yang sangat cukup.

Di lain kesempatan, ketika berdiskusi dengan teman-teman sejawat di waktu makan, saya seringkali mendengar cerita teman sejawat saya kalau dia tidak bisa mengkonsultasikan pasiennya kepada saya karena alasan takut pasien menolak dan malahan marah kepada sejawat saya tersebut. Alasan pasien lagi-lagi "Memang saya gila?"

Kata-kata gila yang disematkan kepada profesi saya bukan hanya saya dapatkan di ruang praktik dan rumah sakit tempat saya bekerja, tetapi juga di sarana pendidikan dokter tempat saya mendidik mahasiswa. Psikiater pasti dan hanya berurusan dengan orang gila adalah konsep di beberapa kepala rekan-rekan dosen yang bekerja bersama saya, terutama diungkapkan oleh dosen-dosen senior.

Saya lalu berpikir, apa yang salah sehingga stigma itu begitu melekat erat di kepala teman sejawat saya. Wajar kalau stigma psikiater cuma melulu berurusan dengan orang gila disematkan oleh masyarakat awam yang tidak pernah mengecap pendidikan dokter, tapi oleh kalau hal itu dilakukan oleh sejawat?

Psikiater untuk gangguan medis umum

Hampir lima tahun ini saya bekerja di rumah sakit umum sebagai seorang psikiater konsultasi dan liaison. Ini merupakan salah satu bidang psikiatri yang di luar negeri disebut sebagai Consultation Liaison Psychiatry (CLP). Consultation Liaison Psychiatry merupakan suatu bidang psikiatri yang berhubungan dengan penanganan pasien medis umum, bedah ataupun ginekologi yang mengalami gangguan kesehatan jiwa atau yang sakitnya menyebabkan terganggunya kesehatan jiwanya.

Dikatakan dalam beberapa penelitian bahwa hampir 30-40 persen pasien yang datang ke rumah sakit sebagai pasien medis umum juga merupakan pasien yang membutuhkan perawatan psikiater. Lebih jauh dikatakan dalam beberapa penelitian yang dirangkum dalam Journal of Psychosomatic terbitan American Psyhciatric Publishing bahwa dua pertiga pasien medis umum yang sering datang ke rumah sakit karena kondisi medisnya, 23 persen mengalami gangguan depresi, 22 persen mengalami kecemasasan dan 20 persen mengalami somatisasi atau gejala-gejala psikosomatik.

Lalu apakah kondisi ini diketahui oleh teman sejawat saya? Beruntungnya di tempat saya bekerja di salah satu RS swasta, kesadaran ini sudah semakin baik. Hal ini tidak lepas dari upaya promosi dan berbagi pengalaman dengan teman sejawat di saat-saat konsultasi. Tapi apakah ini dialami juga oleh teman sejawat psikiater lain di tempat mereka bekerja? Bagaimana memberikan upaya promosi dan edukasi terhadap para sejawat yang kadung menstigma kami para psikiater sebagai dokter ahli gila?

Pendidikan dokter sebagai jawaban

Saya sendiri mempunyai harapan besar kepada pendidikan kedokteran untuk menjawab tantangan ini. Jaman dahulu saat pendidikan dokter, rata-rata dokter muda yang sering disebut koas, menjalani pendidikan kepaniteraan klinik untuk bagian psikiatri di rumah sakit jiwa. Tentunya jaman itu (jaman sekarang juga sebenarnya) kebanyakan pasien jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa adalah pasien gangguan jiwa berat seperti skizofrenia yang sering disebut gila.

Cerita-cerita koas jaman itu bahkan sampai sekarang juga kebanyakan mengangap bagian kepaniteraan klinik psikiatri di RSJ adalah bagian yang menyeramkan dan ingin segera dilewati. Kisah-kisah yang dianggap menakutkan sekaligus lucu sering terdengar dari mulut-mulut mereka ini. Hal ini malahan sering ditambah dengan cerita beberapa dosen psikiatri yang katanya berperilaku aneh, layaknya pasien jiwa itu sendiri. Benar tidaknya sampai saat ini belum ada penelitian tentang hal ini. Mereka jarang atau tidak terpapar dengan pasien-pasien medis umum yang juga sebenarnya memerlukan bantuan psikiater.

Bukan salah mereka, karena kesempatan itu memang tidak didapatkan. Tidak salah pula jika yang tergambar di pikiran mereka adalah pasien jiwa yang menjadi pasien psikiater adalah selalu pasien gangguan jiwa berat alias gila yang menakutkan walau kadang lucu. Saat ini kami psikiater-psikiater yang bergerak di bidang pendidikan mulai melihat ini sebagai suatu peluang untuk membawa mahasiswa kedokteran lebih dekat pada kasus-kasus di pelayanan umum bukan hanya melulu pelayanan khusus jiwa yang sangat spesialistik.

Mereka juga diberikan ilmu untuk mendeteksi suatu gangguan jiwa yang seringkali berdampingan dengan kondisi medis umum yang membawa pertama kali pasien ke pelayanan kesehatan. Selain teori, maka praktik di pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas dan rumah sakit umum diharapkan menambah keterampilan mereka dalam mendeteksi gangguan kesehatan jiwa di pelayanan umum. Semoga di waktu yang akan datang, calon-calon dokter ini mampu memandang psikiatri sebagai bidang kesehatan yang tidak hanya melulu berurusan dengan pasien jiwa berat alias gila.

Mereka juga mampu melaksanakan tugas paripurnanya sebagai dokter yang bukan hanya memberikan pelayanan kesehatan fisik tetapi juga setidaknya mampu mengenali adanya gangguan kesehatan jiwa. Karena tiada kesehatan tanpa kesehatan jiwa.

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan beberapa tahun lalu

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau